W.S. Rendra
dalam Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober - 3 November 1991,
mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah
kebudayaan. Pertama, kemampuan bernapas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga,
kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi.
Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh,
kemampuan regenerasi.
Kemampuan bernapas dalam kebudayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk mengolah
hawa menjadi prana, menjaga kebersihan udara, mengharmonikan kegiatan kehidupan
dengan irama nafas, serta menghilangkan hal-hal yang menimbulkan ketegangan
pada pikiran yang berarti menimbulkan kesesakan pada nafas kehidupan. Kemampuan
mencerna dimaknai sebagai kemampuan untuk mencernakan berbagai pengalaman dalam
kehidupan. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dimaknai sebagai kemampuan
berinteraksi secara sosial.
Kemampuan
beradaptasi dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi
tantangan keadaan, tantangan zaman, dan tantangan berbagai ragam pergaulan.
Kemampuan mobilitas dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan
mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun
vertikal.
Kemampuan
tumbuh dan berkembang diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju,
selalu bertambah luas, dan dalam wawasannya selalu menawarkan paradigma-paradigma
yang segar dan baru. Kemampuan regenerasi dimaknai sebagai kemampuan untuk
mendorong munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.
Di samping
daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah
mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai
sebagai kewajaran. Adapun kewajaran dalam hidup manusia merupakan harmoni tiga
mustika, yakni, tanggung jawab kepada kewajiban, idealisme, dan spontanitas.
Tanggung jawab kepada kewajiban dimaknai sebagai sebuah kesadaran untuk selalu
melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab
sosialnya.
Idealisme
dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh padang dan
hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber kepuasan batin
seseorang. Spontanitas dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia.
Tanpa spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.
Daya Hidup
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang
berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan
Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya
dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan
Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda,
dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa
yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan
raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan
ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan
kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang
berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dalam
perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat
gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali
mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada,
siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang
tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan
pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana,
karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan
ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana
kebudayaan Sunda tersebut?
Kalaulah
kemudian tujuh daya hidup kreasi Rendra digunakan untuk mengelaborasi
kebudayaan Sunda kontemporer, setidaknya ada empat daya hidup yang perlu
dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan
mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.
Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai
tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan
Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan
dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur
kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling
jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak
secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya
para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda
dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan
"keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul
rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam
pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang
ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa
Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar
belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang
kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya.
Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun
horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar
komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali
menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan
kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara
umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah
sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga
berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang
kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah
memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk
melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam
hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang
sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap
melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat
Sunda.
Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa
dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup
berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan
mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi
kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut
terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang
Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang
membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti
regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang",
"mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan
sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab
rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda
gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka
untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta
"terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali
bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya,
tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun
berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup
kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang
sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan
untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap
kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung
jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta
kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab
tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme
yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam
melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi
didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas
seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban
dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang
bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang
disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang
dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam
kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan
sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan
Sunda.
Daya Mati
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda,
timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab
ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa
diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena
ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya
tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas
Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan
kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang
lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang
upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya
sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang
lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan
asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik.
Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk
dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan
dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai
makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur,
bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga
ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan
lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau
Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang
Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan
kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab
lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah
menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda
secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis
dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya
karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis
oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk
memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari
berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan
tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Menurut A. Chaedar Alwasilah (2003), setidaknya ada sebelas ayat sesat yang
telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Pertama, anggapan bahwa
literasi adalah kemampuan membaca. Kedua, anggapan bahwa mahasiswa tidak
perlu diajari cara menulis. Ketiga, anggapan bahwa penguasaan teori
menulis akan membuat siswa mampu menulis. Keempat, anggapan bahwa tidak
mungkin mengajarkan menulis pada kelas-kelas besar. Kelima, anggapan
bahwa menulis dapat diajarkan manakala siswa telah menguasai tata bahasa. Keenam,
anggapan bahwa karangan yang sulit dipahami memperlihatkan kehebatan
penulisnya. Ketujuh, anggapan bahwa menulis hanya dapat diajarkan
manakala siswa sudah dewasa. Kedelapan, anggapan bahwa menulis karangan
naratif dan ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan daripada genre-genre
lainnya. Kesembilan, anggapan bahwa pengajaran bahasa adalah tanggung
jawab guru bahasa. Kesepuluh, anggapan bahwa menulis mesti diajarkan
lewat perkuliahan bahasa. Kesebelas, anggapan bahwa bacaan atau
pengajaran sastra hanya relevan bagi (maha) siswa fakultas sastra.
Budaya
lisan dalam kebudayaan Sunda sebenarnya merupakan budaya yang telah lama akrab
dengan komunitas Sunda, bahkan usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan
budaya baca dan tulisan. Namun, budaya lisan dalam pengertian kapasitas untuk
mengemukakan pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang
berbeda masih merupakan barang yang masih amat sangat langka dalam Kebudayaan
Sunda. Tradisi lisan Sunda tampaknya baru mampu menghargai komunikasi model
monolog dan bukannya dialog. Akibatnya, kemampuan untuk menyampaikan pendapat
dan menerima pendapat yang berbeda dalam Kebudayaan Sunda merupakan barang yang
teramat mewah. Padahal, kapasitas untuk mengemukakan pendapat dan menerima
pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu dasar bagi munculnya daya hidup
dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas. Kapasitas mengemukakan pendapat
pada dasarnya merupakan representasi dari kemampuan bernafas dan mencerna,
sementara kapasitas menerima dengan jiwa besar pendapat yang berbeda lebih
merupakan representasi dari kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi,
kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang,
serta kemampuan regenerasi.
Penulis Lektor Kepala pada Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran serta Sekretaris Jenderal Pusat Kajian Lintas
Budaya Bandung.
Artikel Pikiran Rakyat édisi 6 Méi
2005
Sumber Tulisan
http://klipingkumincir.blogspot.com/2005/10/budaya-sunda-antara-mitos-dan-realitas.html

0 komentar:
Posting Komentar