Eksistensial
adalah suatu aliran filsafat yang kebanyakan tokohnya enggan untuk menggunakan
nama itu. para toko Eksistensialisme lebih senang menyebut nama-nama lain, dan
Eksistensialisme hanya sebagai suatu pendekatan filosofis terhadap realitas,
khususnya realitas manusia.
Sikap mereka anti
system. Kata Kierkegaard; untuk memahami manusia, kita harus mengamatinya dalam
kenyataan sehari-hari, mengamati manusia sebagaimana dia tampak dan menampakkan
diri sebagai fenomena, dan bukan dengan mereduksinya kedalam
abstraksi-abstraksi. Pandangan ini menjadi pandangan para Eksistensialis dan
mendapatkan nama serta pendasaran filosofi pendekatan tersebut sebagai “fenomenologi”
oleh Edmund Husserl.
Ciri lain dari
Eksistensialisme adalah; para Eksistensial memandang subjek dan objek atau
manusia dan dunia sebagai suatu kesatuan yang menjalin relasi dialekstik, suatu
pandangan yang jelas bertentangan dengan dualisme Descartes yang memisahkan dan
mempertentangkan subjek dan objek, jiwa dan badan, atau manusia dan dunia.
Sekalipun para
Eksistensial itu banyak dan beraneka dalam pandangannya, tetapi secara umum
mereka memiliki focus pandangan yang dikatakan sebagai pandangan Eksistensialisme
yaitu sama-sama memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi dasar manusia dan
memandang manusia sebagai pribadi (person).
Seperti dikatakan
diatas cara pandang mereka terhadap alam dan manusia menggunakan pendekatan
Fenomenologi. Lalu apa fenomenologi itu? fenomenologi bukan suatu system atau
aliran filsafat, juga bukan suatu disiplin ilmu. M.A.W. Brouwer menyebutkan
bahwa; jika melihat karya-karya Husserl, bisa diperoleh gambaran bahwa
fenomenologi itu suatu pendekatan atau cara melihat sesuatu.Marleau-Ponty
menjelaskan fenomenologi sebagai filsafat yang berusaha mengembalikan essensi
kedalam eksistensi, suatu filsafat yang tidak mengharapkan akan samapai kepada
pemahaman manusia kecuali dengan bertitik tolak dari faktisitas manusia. Ponty juga menyebut fenomenologi sebagai metode
pemahaman manusia dengan cara mendeskripsikan pengalaman-pengalaman manusia
sebagaimana adanya. Sedangkan Hall dan Lindzey (1970) mengatakan fenomenologi
sebagai metode pendiskripsian data dari pengalaman ssegera (immediate
experience), suatu metode yang ditujukan untuk ‘memahami’ ketimbang
‘menerangkan’ fenomena.
Seperti kata
Misiak dan Sexton, setipa Eksistensialis adalah fenomenolog, yakni menganalisa
situasi keberadaan manusia melalui pengamatan langsung atas pengalaman manusia.
Tetapi tidak semua fenomenolog analah Eksistensialis.
Tokoh-tokohnya
adalah; Ludwig Binswager (1881-1966) dan Medard Boss (1903), keduanya adalah
pengikut Heiddegger. juga Viktor Frankl (dengan nama Logoterapi). Sebagian
kritikus mendefinisikan “psikologi Eksistensial” sebagai ilmu empiris tentang
keberadaan manusia yang menggunakan metode analis fenomenologis.
Beberapa kritik
yang dilontarkan, karena prinsip yang dianut ‘psokologi Eksistensial’ khususnya
oleh kaum Behaviorisme (Watson dan Skinner) yaitu;
Pertama, psikologi eksistensial sama sekali menolak hukum sebab-akibat yang
berasal dan ilmu alam yang digunakan oleh beberapa pendekatan psikologi.
Menurut para tokoh psikologi eksistensial, hukum sebab-akibat itu tidak cocok
untuk digunakan dalam psikologi, sebab manusia bukan benda atau objek yang
pasif, melainkan subjek yang dinamis. Oleh karena itu, menurut mereka, yang
cocok untuk digunakan di dalam psikologi adalah konsep motivasi, suatu konsep
mengenai sumber dan proses kemunculan tingkah laku yang dimengerti dalam kaitan
sebab-akibat, tetapi melihat partisipasi aktif manusia sebagai penyebab
kemunculan tingkah laku itu. Perbedaan antara hukum sebab-akibat dengan konsep
motivasi itu bisa diterangkan melalui contoh jendela yang terbuka oleh embusan
angin dan jendela yang terbuka oleh manusia. Baik angin maupun manusia
sama-sama menimbulkan akibat terhadap jendela, yakni jendela itu menjadi
terbuka. Sebabnya adalah, baik angin maupun manusia sama memiliki daya dorong.
Bagaimanapun, berbeda dengan angin, manusia membuka jendela tidak semata-mata
karena memiliki daya dorong, tetapi juga karena memiliki tujuan tertentu yang
hendak dicapainya, umpamanya untuk memperoleh angin segar atau untuk menerangi
ruangan. Dan dalam tindakannya mendorong jendela itu, manusia disertai
proses-proses kognitifnya yang memungkinkan dia bisa menentukan di mana tangan
harus diletakkan dan berapa besar tenaga harus dikeluarkan. Prinsip yang petama
ini berkaitan dengan prinsip yang kedua.
Kedua, psikologi eksistensial berprinsip bahwa pengalaman atau tingkah laku
manusia adalah hasil dari manusia itu sendiri sebagai suatu totatitas yang
berkehendak, bukan semata-mata sebagai hasil dari stimulus internal
(naluri-naluri atau dorongan-dorongan) dan atau stimulus eksternal (lingkungan).
Menurut para ahli psikologi eksistensial, usaha memahami manusia dengan
mengandaikan adanya kekuatan-kekuatan deterministik dan memandang
kekuatan-kekuatan deterministik itu sebagai penyebab kemunculan tingkah laku
adalah memutarbalikkan dan memecah belah keberadaan manusia serta mengingkari
otonomi dan kebebasan manusia. Pendek kata, uraian mengenai tingkah laku dan
keberadaan manusia dengan menggunakan istilah-istilah naluri, dorongan, energi
psikis, maupun energi fisik tidak berlaku dalam psikologi eksistensial.
Sebaliknya, dengan menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialisme dan metode
fenomenologi, para ahli psikologi eksistensial mempelajari manusia melalui
pengamatan langsung atas pengalaman atau tingkah laku manusia sebagaimana pengalaman
atau tingkah laku itu muncul dalam kesegeraannya atau tampil sebagai fenomena,
dan melukiskanya setepat mungkin. Dan deskripsi atau pelukisan fenomenologis
bukanah penguraian sebab-akibat. (Van Kaam. 1966)
Ketiga, psikologi eksistensial mencurigai teori, sebab teori —banyak di antaranya
— terlalu mempersoalkan hal-hal yang tak bisa diamati dan menganggap hal-hal
tersebut sebagai penyebab kemunculan hal-hal yang bisa diamati. Yang dimaksud
dengan hal-hal yang tak bisa diamati itu adalah struktur-struktur hipotetis
yang dianggap ada pada manusia seperti ego, drive, dan semacamnya, sedangkan
yang dimaksud dengan hal-hal yang bisa diamati adalah fenomena, dalam hal ini
fenomena tingkah laku. Menurut para ahli psikologi eksistensial, fenomena itu
bukan muka atau kutipan dari sesuatu yang lainnya, melainkan sesuatu yang hadir
dalam kesegeraannya (tanpa diantarai). Para ahli psikologi eksistensial
menekankan bahwa dalam mempelajani tingkah laku manusia, kita harus bebas dari
praduga-praduga ilmiah yang biasa ditimbulkan oleh teori-teori, dan harus
mengamati apa yang bisa diamati (fenomena tingkah laku), serta menjabarkan atau
melukiskan fenomena yang diselidiki dalam penampilannya yang utuh dan dalam
susunannya yang asli (Binswanger, 1963). Pada saat yang sama, para ahli
psikologi eksistensial menentang pendekatan psikologi yang mengabaikan
pengalaman-pengalaman-dalam (inner experiences) manusia dan yang melulu
mempersoalkan tingkah laku yang nampak (overt behavior). Dalam pandangan
psikologi eksistensial, pengalaman-pengalaman-dalam (ketakutan, kecemasan,
pengharapan, rasa bersalah) itu sama vitalnya dengan tingkah laku-tingkah laku
yang nampak.
Akhirnya,
psikologi eksistensial menentang dengan gigih pendekatan psikologi yang
memandang manusia seperti memandang batu atau pohon, dan yang memperlakukan
manusia sebagai objek yang bisa dimanipulasi seperti memperlakukan hewan-hewan
percobaan di dalam laboratonium.
Menurut psikologi
Eksistensial, pandangan dan perlakuan semacam itu tidak hanya merusak keutuhan
manusia yang menghambat para ahli psikologi untuk memahami manusia secara penuh
di dalam keberadaannya. tetapi juga mengakibatkan dehumanisasi manusia.
Psikologi eksistensial masuk ke dalam arena kritik-kritik sosial dengan
melancarkan serangan terhadap pengasingan dan fragmentasi manusia oleh
teknologi, birokrasi, dan mekanisasi. Menurut para ahli psikologi eksistensial,
apabila manusia dipandang sebagai suatu yang bisa diatur, dikendalikan,
dibentuk dan dieksploitasi, maka manusia akan terhambat dalam mencapai kehidupan
yang sungguh-sungguh dan manusiawi.

0 komentar:
Posting Komentar